Selasa, 29 November 2011

Membaca Jejak “Paus” Teknologi Indonesia

Era globalisasi telah menciptakan gelombang persaingan yang ketat dan berdampak luar biasa. Dampak paling hebat bisa dirasakan pada aspek ekonomi dan teknologi. Bagi negara berkembang yang ingin mengikuti pentas persaingan, penguasaan terhadap teknologi merupakan prasyarat agar mampu tampil ke depan, berdiri sejajar dengan bangsa lain.
Manusia dan teknologi tidak dapat dipisahkan. Teknologi terkandung dalam diri dan cara-cara hidup manusia dalam masyarakat. Sebaliknya teknologi tidak dapat terlepas dari manusia karena teknologi itu ada karena ciptaan manusia. Kemampuan berpikir manusia yang sistematis, analitis, dan mendalam mampu menghasilkan ilmu pengetahuan. Dari ilmu pengetahuan lahir teknologi, yang mendorong nilai tambah terhadap hasil budi daya manusia.
Sejak BJ Habibie dilantik sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi (1978), banyak terjadi perubahan fundamental pada kegiatan-kegiatan penelitian di Indonesia. Dia mengarahkan penelitian agar lebih terfokus untuk menghasilkan teknologi yang diterapkan bagi pembangunan. Awal tahun 1983, lahir gagasan Habibie tentang konsep transformasi industri nasional. Gagasan ini muncul pertama pada ceramah umum di Bandung, yang kemudian resmi dipublikasikan pada 14 juni 1983 di Bonn, Jerman, dengan judul “Beberapa Pemikiran Tentang Strategi Transformasi Industri Suatu Negara Sedang Berkembang”.
Habibie mambangun konsep transformasi industri dengan “mulai dari akhir dan berakhir di awal”. Artinya, bahwa akhir berarti tahap akhir dari suatu proses penahapan secara evolutif pengembangan produk teknologi yang secara klasik telah ditempuh oleh industri negara-negara maju. Proses mulai dari tahap awal berupa penelitian dasar sampai dengan tahap akhir berupa perakitan dan pemasaran produk. Jadi, konsep Habibie berupa proses transformasi teknologi nasional dimulai dari perakitan dan pemasaran produk untuk dan kembali untuk pengembangan dan inovasi produk industri.
Dalam transformasi ini, Habibie membuat tahapan yang disebut satuan mikro-evolutif yang dipercepat atau micro-accelerated evolution unit (MAEU). Ia sering menggelorakan pembaharuan terhadap teknologi dengan slogannya, “kita tidak bisa membuat sebuah penemuan ulang suatu teknologi yang sudah lama ditemukan bangsa lain sebab kita akan tertinggal”.
Pemikiran dasar Habibie untuk membangun teknologi Indonesia terwujud dalam empat tahap penting. Pertama, pemasaran produk dengan pemasaran jaringan produk pendukung atau “purnajual” sampai jumlah tertentu yang memungkinkan memproduksi produk tersebut. Kedua, produksi dengan lisensi, dimulai dengan mengembangkan jaringan “pengendalian dan pengamanan mutu” atau quality control and quality assurance dengan penekanan biaya dan peningkatan kualitas produk.
Ketiga, pengembangan teknologi dengan memanfaatkan disiplin Ilmu Pengetahuan Terapan yang tepat dan berguna untuk menciptakan produk baru. Keempat, melaksanakan riset dalam Ilmu Dasar dan Ilmu Terapan yang biasanya dilaksanakan di universitas atau lembaga penelitian atas beban pemerintah.
Karya nyata dari proses yang digambarkan Habibie tepat dan dapat dibuktikan dengan “Proyek Pembangunan Industri Dirgantara IPTN dan Prasarananya di Puspiptek, ITB, dan IPTN. Proses tahap pertama dan kedua termanifestasi dalam CASA 212, CN-235. Tahap kedua, untuk N-250 dan N-2130. Tahap ketiga dilaksanakan di IPTN untuk N-250 dan N-2130. Terakhir, dilaksanakan di IPTN, Puspiptek, BPPT, LIPI, ITB, dan sebagainya. Meski memakan waktu seperempat abad, karya nyata dapat diberikan bangsa Indonesia dengan terbang perdananya N-250 pada 10 Agustus 1995.
Di antara pemikiran Habibie, yang menonjol adalah gagasan link & match. Sebuah usaha menciptakan sinergi antara kurikulum pendidikan dan kebutuhan praktis dunia industri. Dari ide itu, ia berhasil menciptakan sinergi IPTN dengan ITB Bandung dalam teknologi dirgantara, PT PAL Surabaya bersinergi dengan ITS Surabaya dalam bidang perkapalan dan kelautan. Institut Teknologi Indonesia (ITI) Serpong bersinergi dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek). Semua ini adalah upaya agar lembaga penelitian dan perguruan tinggi sebagai mitra usaha dapat mempercepat difusi kemajuan teknologi dan kemampuan inovasi.
Salah satu pasal dalam hidup Habibie bahwa iptek pada gilirannya dapat selalu berada pada posisi strategis dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Habibie juga merealisasikan gagasan “kota berbasis ilmu pengetahuan atau science based city (SBC)” yang bertujuan untuk meningkatkan kemitraan antara Puspiptek dan lembaga iptek di luar Puspiptek. Begitu pula science based industrian park (SBIP), dirancang untuk meningkatkan kemitraan Puspiptek dengan sektor swasta (industri) guna mengatasi masalah industri dalam pengembangan inovasi.
Buku yang ditulis oleh seorang negarawan dan “paus” teknologi ini merupakan hasil refleksi, kajian dan gambaran mengenai potensi teknologi yang dapat digunakan bagi kemajuan, serta upaya kemandirian bangsa. Pembaca dapat lebih paham mengenai pemikiran dan kontribusi BJ Habibie terhadap peradaban teknologi di Indonesia. Sesungguhnya teknologi mempunyai posisi dan peran yang strategis bagi suatu bangsa apabila teknologi tersebut dimanfaatkan secara efektif dan efisien.
Poin penting yang ditekankan Habibie, ia ingin mengembangkan kekayaan Indonesia yang paling berharga, yaitu sumber daya manusia (SDM) yang terbarukan. Untuk mengembangkan keterampilan SDM, mereka tidak cukup hanya disosialisasikan ke dalam proses-proses padat karya, tetapi juga harus diperkenalkan dengan proses-proses produksi yang berteknologi tinggi.

*Peresensi adalah Fuad Hasan; pecinta buku, tinggal di Semarang.
Sumber: kompas.com
Untuk Memberikan komentar gunakan Fasilitas Forum > Berita. Fasilitas ini dapat diakses melalui alamat: http://forum.isi-dps.ac.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar